TAHUKAH
ANDA..?
BEATO
REDEMPTUS DAN DIONISIUS MENJADI MARTIR DI ACEH
1. Beato
Redemptus A Cruce (dari Salib),
lahir 15 Maret 1598 dari Paredes, Portugal, pernah berkarya di Goa –
India, Sumatra – Indonesia; Wafat sebagai Martir (ditembak dengan panah lalu
lehernya digorok) di Aceh, Indonesia pada 27 November 1638. Dibeatifikasi pada
10 Juni 1900 oleh Paus Leo XIII.
Redemptus
lahir di sebuah keluarga tani yang miskin namun saleh dan taat agama.
Orangtuanya memberinya nama Tomás Rodrigues da Cunha di Paredes. Semenjak usia
muda, ia masuk dinas ketentaraan Portugis dan ditugaskan ke India. Namun pada
tahun 1615 Ia mengundurkan diri dari dinas ketentaraan karena ingin menjadi
biarawan.
Ia lalu
bergabung dengan biara karmel di Goa sebagai seorang Bruder dan mengambil nama
biara Redemptus dari Salib (Redemptus a Cruce). Di biara inilah ia bertemu
dengan seorang biarawan kudus yang dulunya adalah seorang pelaut dan juga
seorang tentara yang bernama Dionisius a Nativitate.
2. Beato
Dionisius a Nativitate ,
lahir 12 Desember 1600 dari Honfleur, Perancis, berkarya ditempat yang sama
dengan Beato Redemptus; wafat sebagai Martir (kepalanya di pukul dengan gada
hingga pecah lalu lehernya digorok) di Aceh Indonesia pada tanggal 27 November
1638. Dibeatifikasi pada 10 Juni 1900 oleh Paus Leo XIII.
Nama
baptisnya Pierre Berthelot. Ia lahir di kota Honfleur, Perancis pada tanggal 12
Desember 1600. Ayahnya adalah seorang dokter dan nakoda kapal dan Ibunya yang
bernama Fleurie Morin adalah seorang aristokrat Prancis yang harum namanya.
Semua adiknya : Franscois, Jean, Andre, Geoffin dan Louis menjadi pelaut
seperti ayahnya. Pierre sendiri semenjak kecil (12 tahun) telah mengikuti
ayahnya mengarungi lautan luas; dan ketika berusia 19 tahun ia sudah menjadi
seorang pelaut ulung.
Alkisah
pada tahun 1638, Wakil Raja Portugis di Goa, Pedro da Silva, bermaksud mengirim
misi diplomatik ke Aceh yang baru saja berganti sultan; dari Sultan Iskandar
Muda ke Sultan Iskandar Thani. Pedro da Silva ingin menjalin hubungan
persahabatan karena hubungannya dengan sultan terdahulu tidak begitu baik.
Sebagai
seorang bekas pelaut yang sudah pernah datang ke Banten, Dionisius ditunjuk
sebagai almosenir (juru bahasa dan pandu laut). Oleh karena itu tahbisan
imamatnya dipercepat. Dionisius ditahbiskan menjadi imam pada tahun
1637 oleh Mgr. Alfonso Mendez. Bruder
Redemptus dengan izinan atasannya ikut serta dalam perjalanan dinas itu sebagai
pembantu.
Misi ini
dipimpin oleh Dom Francisco Sousa de Castro sebagai duta. Para anggota misi
yang lainnya adalah : Pater tentara Dionisius, Bruder Redemptus, Don Ludovico
da Soza, dua orang biarawan Fransiskan, seorang pribumi dan 60 orang awak
kapal. Mereka berlabuh di Ole-Ole (kini: Kotaraja) dan disambut dengan ramah.
Tetapi
keramahan orang Aceh ternyata hanyalah tipu muslihat belaka. Orang-orang
Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa
bangsa Portugis datang hanya untuk menyebarkan agama Katolik diwilayah Aceh.
Karena itu semua anggota misi ini ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa
agar menyangkal imannya. Selama sebulan mereka meringkuk di dalam
penjara dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Beberapa orang dari antara
mereka meninggalkan imannya untuk membeli kebebasan mereka.
Dionisius
dan Redemptus terus meneguhkan iman saudara-saudaranya dan memberi mereka
hiburan.
Akhirnya di pesisir pantai tentara sultan mengumumkan bahwa mereka
dihukum mati bukan karena berkebangsaan Portugis melainkan karena mereka adalah
pemeluk agama Katolik. Maklumat sultan ini diterjemahkan oleh Pater
Dionisius kepada teman-temannya.
Sebelum
menyerahkan nyawa ke tangan para algojo, mereka semua berdoa dan Pater
Dionisius mengambil salib dan memperlihatkan kepada mereka supaya jangan
mundur, melainkan bersedia mengorbankan nyawa demi Kristus Yang Tersalib dan
yang telah menebus dosa dunia, dosa mereka. Dionisius memohon ampun kepada
Tuhan dan memberikan absolusi terakhir kepada mereka satu per satu. Segera
tentara menyeret Dionisius dan dimulailah pembantaian massal.
Setelah
teman-temannya dibunuh satu-demi satu, Pater Dionisius masih bersaksi tentang
Kristus dengan penuh semangat. Kotbahnya itu justru semakin menambah kebencian
rakyat Aceh terhadapnya. Algojo-algojo semakin beringas untuk segera menamatkan
riwayat Dionisius. Namun langkah mereka terhenti di hadapan Dionisius.
Dengan
sekuat tenaga mereka menghunuskan kelewang dan tombak akan tetapi seolah-olah
ada kekuatan yang menahan, sehingga tidak ada yang berani. Segera kepala algojo
mengirim utusan kepada sultan agar menambah bala bantuan.
Dionisus
lalu berdoa kepada Tuhan agar niatnya menjadi martir dikabulkan. Dan
permintaannya dikabulkan. Seorang algojo – yang adalah seorang Kristen Malaka
yang murtad – mengangkat gada dan mengayunkan dengan keras ke kepala Dionisius,
disusul dengan kelewang yang memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya.
Kemartiran
Dionisius dengan kawan-kawannya disahkan Tuhan: mayat mereka selama 7 bulan
tidak hancur, tetap segar seperti sedang tidur. Menurut saksi mata, jenazah Dionisius sangat merepotkan
orang sekitarnya, karena setiap kali dibuang – ke laut dan tengah hutan –
senantiasa kembali lagi ke tempat ia dibunuh. Akhirnya jenazahnya dengan hormat
dimakamkan di Pulau Dien (‘pulau buangan’). Kemudian dipindahkan ke Goa, India.
Pater
Dionisius a Nativity di beatifikasi bersama dengan Bruder Redemptus a Cruce
pada tanggal 10 Juni 1900 oleh Paus Leo XIII. (**red/
Komsossanjosbajawa)
(sumber:
Katakombe.org,
Buku “Melacak Jejak Imam Karmel OCD di Indonesia”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar